Kunthet, Stunting.
H Rasyid M Tauhid-al-Amien, dr., MSc., DiplHPEd., AIF.
Ketika terlaporkan bahwa di Indonesia anak yang mengalami “stunting” mencapai angka 39%. Hal ini menghawatirkan karena pada 2030 mereka itu akan menjadi beban masyarakat, kaini.rena kekurangan-kekurangan mereka sebagai akibat stunting.
Wawasan.
Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumya masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), masalah anemia besi, masalah Gangguang Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), masalah Kurang Vitamin A (KVA), dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar. Pada Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1993 telah diungkapkan bahwa Indonesia mengalami masalah gizi ganda, yaitu sementara masalah gizi- kurang belum dapat diatasi secara menyeluruh, ternyata juga sudah muncul masalah baru yaitu masalah gizi lebih.
Di samping itu, ada masalah gizi mikro lainnya seperti defisiensi zink yang juga terjadi di masyarakat. Zink (mineral seng) berperan dalam sintesis protein, dan merupakan komponen enzim tertentu sehingga defisiensi seng dapat menyebabkan kekerdilan (stunted); ini juga mempengaruhi perkembangan seksual. Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator status gizi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang.
Stunting atau pendek pada balita merupakan permasalahan gizi global. Selama tahun 2013, United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) mencatat adanya 25% balita di dunia mengalami stunting. Prevalensi stunting pada umumnya menurun di seluruh dunia. WHO melaporkan bahwa antara tahun 1990 dan 2000, prevalensi global stunting pada anak-anak turun dari 34% menjadi 29%. Namun, di Afrika Timur, jumlah anak dengan stunting meningkat pada periode ini dari 40 juta menjadi 45 juta; di Indonesia justru naik menjadi rata-rata 39%!!! Stunting didefinisikan oleh WHO 2 SD (standar deviasi) di bawah nilai z untuk tinggi badan menurut umur. Anak-anak yang kurang berat badan atau bahkan stunting mungkin tidak mampu mengejar (catch-up growth) di masa kecil, maka dengan demikian mereka itu berisiko kesehatan yang buruk ke dalam kehidupan saat dewasa nantinya. Di beberapa negara, Afrika Selatan misalnya, anak-anak yang stunting memang hidup berdampingan dengan mereka yang kegemukan. Ini merupakan gambaran kegagalan bagi para pembuat kebijakan; memiliki implikasi yang kompleks dalam bermasyarakat bernegara.
Data Kemenkes RI tahun 2013 di Indonesia masalah kesehatan masyarakat yang dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30 – 39%, dan serius bila prevalensi pendek ?40. Sebanyak 13 provinsi termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi termasuk kategori serius. Ke 15 provinsi tersebut adalah: Papua (40,1%), Maluku (40,6%), Sulawesi Selatan (40,9%), Sulawesi Tengah (41,0%), Maluku Utara (41,1%), Kalimantan Tengah (41,3%), Aceh (41,5%), Sumatera Utara (42,5%), Sulawesi Tenggara (42,6%), Lampung (42,6%), Kalimantan Selatan (44,2%), Papua Barat (44,7%), Nusa Tenggara Barat (45,2%), Sulawesi Barat (48,0%). dan Nusa Tenggara Timur (51,7%). Menjelang akhir 2018 angka itu justru menjadi rata-rata 39%.
Di negara berpendapatan menengah kebawah, stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan karena stunting dapat meningkatkan risiko kematian pada anak, serta mempengaruhi fisik dan fungsional dari tubuh anak (The Lancet, 2008). Selain itu, stunting pada awal masa kanak-kanak dapat menyebabkan gangguan Intelligence Quotient (IQ), perkembangan psikomotor, kemampuan motorik, dan integrasi neurosensori. Stunting juga berhubungan dengan kapasitas mental dan performa di sekolah, baik dalam kasus sedang sampai parah seringkali menyebabkan penurunan kapasitas kerja dalam masa dewasa. Anak yang mengalami severe stunting di dua tahun pertama kehidupannya memiliki hubungan sangat kuat terhadap keterlambatan kognitif di masa kanak-kanak nantinya, dan berdampak jangka panjang terhadap mutu sumber daya manusia.Penelitian lain menunjukkan anak (9—24 bulan) yang stunting selain memiliki tingkat intelegensi lebih rendah, juga memiliki nilai lebih rendah dari segi lokomotor (gerakan), koordinasi tangan dan mata, pendengaran, berbicara, maupun kinerja jika dibandingkan dengan anak normal .
Stunting adalah merupakan suatu Retardasi Pertumbuhan Linier (RPL) yang berkaitan dengan adanya proses perubahan patologis. Malnutrisi yang tampak dalam bentuk stunting ini mengakibatkan penurunan kapasitas fungsional, seperti penurunan produktifitas fisik, daya tahan terhadap infeksi, pencapaian nilai anak sekolah dan pada gilirannya berpengaruh pada penurunan kecerdasan ketika mereka harus mandiri.
Memperbaiki penurunan kecerdasan merupakan hal sangat sulit, apalagi dalam era teknologi kini dan mendatang; otak yag mngalami keterlambatan pertumbuhan (di masa balita) tidak akan terkejar lagi!
Pada dasarnya status gizi anak dapat dipengaruhi oleh faktor langsung dan tidak langsung, dan akar masalah . Faktor langsung yang berhubungan dengan stunting yaitu berupa asupan makanan dan status kesehatan (ekonomi dan kesehatan). Asupan energi menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap kejadian stunting. Selain itu, konsumsi protein juga turut memberikan kontribusi dalam hal ini, penelitian di Kenya dan Nigeria menyebutkan pada anak usai 2 – 5 tahun asupan protein yang tidak adekuat berhubungan dengan kejadian stunting. Penelitian lain menyebutkan, asupan makanan dan status kesehatan berhubungan signifikan terhadap status gizi stunting pada anak di Libya. Selanjutnya, di Indonesia status kesehatan berupa penyakit infeksi memiliki hubungan positif terhadap indeks status gizi TB/U.
Begitupun selanjutnya, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan, dan lingkungan rumah tangga sebagai faktor tidak langsung, serta akar masalah yang meliputi wilayah tempat tinggal dan status ekonomi memberikan hubungan dengan buruknya status gizi anak. Pola pengasuhan berupa pemberian ASI eksklusif yang kurang tepat turut berkontribusi dalam kejadian stunting. Selanjutnya, status imunisasi pada anak yang merupakan salah satu indikator kontak dengan pelayanan kesehatan, menunjukkan status imunisasi memiliki hubungan signifikan terhadap indeks status gizi TB/U. Status imunisasi ternyata memiliki hubungan signifikan terhadap kejadian stunting pada anak < 5 tahun. Karakteristik keluarga yaitu pendidikan orang tua dan pendapatan keluarga berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6 – 12 bulan. Berdasarkan penelitian ternyata tingkat pendidikan ibu dan ayah merupakan faktor utama kejadian stunting pada balita di Indonesia maupun Bangladesh. Diagnosa. Kartu anak sehat sebenarnya dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengamati ada atau tidaknya stunting pada anak. Di Puskesmas maupun Posyandu ini mudah didapat asalkan rajin memeriksakan anak. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Z-score untuk kategori pendek adalah -3 SD sampai dengan <-2 SD dan sangat pendek adalah <-3 SD. Dengan mempergunakan kartu sehat itu saja adanya ancaman stunting sebenarnya mudah dikenali. Tindakan. Seperti telah disebutkan di muka bahwa terbelakangan perkembangan otak sebagai akibat dari kurangnya asupan gizi pada balita tidaklah dapat dikejar lagi. Oleh karena itu yang penting sekarang adalah berbenah diri, perhatikan benar-benar pertumbuhan balita!!! Gangguan pertumbuhan-linier (memanjang) atau stunting, terjadi terutama dalam 2 sampai 3 tahun pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari efek interaksi antara kurangnya asupan energi dan asupan gizi umum, ataupun karena infeksi. Menurut UNSCN stunting pada anak merupakan indikator utama dalam menilai kualitas modal sumber daya manusia di masa mendatang. Gangguan pertumbuhan yang diderita anak pada awal kehidupan, pada hal ini stunting, dapat menyebabkan kerusakan yang permanen. Keberhasilan perbaikan ekonomi yang berkelanjutan di masa mendatang dapat dinilai dengan berkurangnya kejadian stunting pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Pencegahan. Untuk mendeteksi keber adaan stunting tidaklah mudah jika hanya dengan sekedar melihatnya, kecuali keadaannya yang berat; perlu pemeriksaan antropometris (tinggi, berat badan) untuk ini, terutama tinggi atau panjang anak dikaitkan dengan umurnya. Oleh karena itu begitu ada petunjuk adanya kekurangan harus segera daimbil tindakan perbaikan; Posyandu perlu lebih diakfifkan. Yang menarik adalah bahwa sanitasi air yang lebih baik akan menurunkan stunting; mungkin ini terkait dengan kesehataan sistem pencernaan. Begitulah kebiasaan cuci tangan pada yang punya bayi 0-23 bulan ternyata ikut menurunkan stunting. Penutup. Stunting merupakan suatu Retardasi Pertumbuhan Linier (RPL) yang berkaitan dengan adanya proses perubahan patologis. Malnutrisi dalam bentuk stunting ini berhubungan dengan penurunan kapasitas fungsional, seperti penurunan produktifitas fisik, daya tahan terhadap infeksi, performans anak sekolah dan pada gilirannya berpengaruh pada penurunan kecerdasan. Dampak stunting nantinya tidak hanya dirasakan oleh individu yang mengalaminya, tetapi juga berdampak terhadap roda perekonomian dan pembangunan bangsa. Hal ini karena sumber daya manusia stunting memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan dengan sumber daya manusia normal . Kesadaran bersama atas ancaman “badai” stunting untuk segera bertindak bersama merupakan langkah penting untuk kulit menjaga kkeberadaan NKRI sebagai bangsa yang mandiri, bukan menjadi kuli di negeri sendiri. Semoga uraian di atas bermanfaat. Catatan: Pernah dimuat di majalah Mimbar Penerangan Agama Kanwil Kemenag Jatim th 2018.