MESJID, INSTITUSI ISLAM UNTUK KESEJAHTERAAN UMAT MANUSIA YANG PLURAL,
Apa Perannya Saat Pandemi Covid19?

Oleh : Fuad Amsyari

Setiba Nabi di Madinah dari Mekah dalam proses hijrah yg fenomenal itu, beliau memulai aktifitasnya dengan membangun mesjid sebagai istitusi Islam yang pertama sekali, sebelum ada institusi lain apapun, seperti hizbullah, baitul maal, dan lain-lain. Mesjid tersebut lalu dijadikan Pusat Aktifitas Islam yang memiliki berbagai fungsi sosial & kenegaraan, misalnya untuk Shalat berjamaah (fungsi sosial dlm berritual), pengembangan ekonomi (saling bantu dalam menolong yang sedang kekurangan), pusat pendidikan-pengajaran agama Islam, pusat Pemerintahan, tempat mobilisasi militer, lokasi pelaksanaan peradilan, bahkan tempat menghukum bagi pelanggar pidana. Dari mesjid yang memainkan berbagai peran sosial-politik kenegaraan itulah maka institusi mesjid menjadi sentra yang membawa masyarakat Madinah yang plural penduduknya menggapai keadilan & kesejahteraan-kemakmuran. Setelah Nabi wafat dan berlanjut sampai dalam Pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib mesjid tetap berperan sentral dlm kehidupan sosial-politik Islam untuk membawa Tatanan Sosial plural menjsdi Baldatun thoyibatun wa Robbun ghofur, negara adil makmur sejahtera dalam ridho-berkah-ampunan Allah SWT.

Dalam perjalanan sejarah Islam, setelah periode pemerintahan Khalifah, dimulai dengan dijalankannya Pemerintahan model kerajaan di era Muawiyah maka peran masjid kian melemah karena pusat pemerintahan berpindah ke institusi bukan lagi institusi mesjid. Akhirnya, di jaman ini mesjid menjadi terbatas sekali perannya, hanya berfungsi sebagai tempat berritual seperti shalat fardhu berjamaah, shalat sunnah taraweh di bulan Ramadhan, jumatan, tempat i’tikaf, di samping sedikit peran mengajarkan agama Islam. Mesjid tidak lagi diperlakukan seperti di era Nabi & Khulafa’ur Rasyidin. Dorongan pada umat untuk ke mesjid tersisa guna shalat berjamaah dengan alasan utamanya untuk mendapat pahala 27x lipat dibanding jika shalat sendirian di rumah. Makna masjid sebagai Pusat (Perkembangan) Islam semakin pudar, kecuali di negara2 yang jumlah muslimnya minoritas, yang namanyapun jadi berubah, lebih populer disebut sebagai Islamic Center. Bahkan untuk Mesjidil Haram pun fungsinya juga serupa, tersisa untuk berritual seperti shalat fardhu, jumatan, taraweh, thawaf, sai, doa-dhikir, dan sedikit ngaji belajar Islam.

Jika di jaman ini posisi mesjid memang sudah terbatas seperti itu mana mungkin mesjid bisa berperan besar untuk menyejahterakan masyarakat, jangankan yang plural, yang singular umat Islam sendiri pun akan terasa sulit jika tidak bisa disebut mustahil.

Di era reformasi Indonesia khususnya pada dekade terakhir ini, sepertinya muncul gairah untuk membuat mesjid kembali menjadi institusi yang penting bagi umat Islam. Dalil rasional yang dikemukakan adalah jika umat bisa beramai melaksanakan shalat jamaah di mesjid, apalagi di saat subuh yg memiliki nilai ibadah mahdhah tinggi, maka hal itu diperkirakan bisa mendorong terinduksinya persatuan umat Islam dan ujungnya akan membuat umat Islam bisa bersatu sehingga memenangkan persaingan politik di negerinya, menjadi Pemimpin formal bangsa plural yang mayoritasnya beragama Islam. Turki sering dijadikan acuan, yakn bahwai di sana jamaah shalat subuhnya meluap sepertinya ramainya jamaah shalat jum’at. Namun sayangnya fenomena tersebut tidak disertai penilaian urutan waktunya, mana yang lebih dahulu terjadi, ramainya mesjid terlebih dahulu ataukah dimenangkannya kekuasaan Turki oleh Erdogan dengan Partai Islamnya (Hizbullah). Dengan kata lain, Islam berkuasa terlebih dahulu barulah mesjid-mesjid di Turki jadi semarak. Fakta sejarah Turki menunjukkan bahwa mesjid di Turki menjadi makmur setelah pemerintahan Turki dipegang Partai Keadilan yang bervisi syariat.

Setelah mencermati perjalanan peran mesjid di dunia Islam seperti yang diuraikan di atas, kini mari dipertimbangkan apa yang sebaiknya diperankan mesjid di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam serta merupakan komunitas muslim terbesar sedunia, sekitar 200 jt lebih, di saat dunia ini terserang pandemi covid19. Ada fenomena yg terasa aneh sekali bahwa kini justru umat Islam sendiri melalui keputusan tokoh-tokohnya, baik yang sedang berperan sebagai Penguasa formal seperti di negeri-negeri Islam teluk, maupun sebagai Pemimpin formal Kelompok sosial Ormas-Yayasan Islam di negara muslim seperti Mesir dan Indonesia malah ramai2 menutup mesjid dari shalat berjamaah dan Jumatan dan lain-lain. Mesjid-mesjid di negeri muslim menjadi sepi, bahkan termasuk Mesjidil Haram dengan ka’bah nya maupun Mesjid Nabawi dengan makam Rasulullah. Syiar Islam di mesjid kini jadi hilang dan senyap bukan oleh musuh Islam tapi oleh orang Islam sendiri. Ironisnya, alasan2 yang dipakai Pengambil Kebijakan di kalangan kaum muslimin tersebut ternyata tidak ada nash Qur’annya, hanya berbasis hadits bahkan dari riwayat jaman kekhalifahan. Hadits yg dicuplik untuk pelarangan itu matannya atau isi haditsnya ternyata bernilai amat kasuistik sesaat, yakni tatkala ada hujan besar maka shalatnya umat di rumah. Matan hadits tersebut mestinya harus ditimbang proporsinya bahwa keringanan itu hanya jika ada peristiwa sesekali seperti hujan besar sesaat, harus ditimbang berapa sering akan ada peristiwa hujan tersebut dan berapa lama akan berlangsung lalu dibandingkan dengan lamanya wabah covid19 yang jelas berkepanjangan bukan sehari atau beberapa hari belaka. Juga terhadap adanya alasan dalam riwayat sahabat bahwa Khalifah Umar bin Khattab melarang orang luar masuk ke wilayah yang sedang ada wabah pes/thoun, tidak dinilai apakah muslimin yang sedang di wilayah wabah tersebut juga dilarang ke mesjid untuk shalat berjamaah & jumatan serta meramaiksn mesjidnya. Alasan-alasan di atas jelas tidak proporsional jika dikaitksn dengan hadirnya wabah covid19 yang membuat mesjid ditinggalkan umat Islam berlarut mingguan, bulanan, atau bisa lebih lama lagi. Bahkan pada kasus Mesjidil Haram larangan tersebut bisa membuat orang batal tidak bisa berhaji yang diselenggarakan hanya setahun sekali, suatu kesempatan langka bagi seluruh umat Islam di dunia. Bagaimana logika adanya larangan berkepanjangan tersebut jika dibanding dengan bobot adanya perintah Allah SWT dalam al Qur’an agar umat Islam memakmurkan mesjid, berjumatan di mesjid, dan bagi Mesjidil Haram juga perintah agar dipakai thawaf-sai dalam prosesi berhaji-umrah bagi umat Islam se dunia. Apabila pelanggaran akan perintah tegas al Qur’an itu bisa berbuah mendulang dosa bisakah diperkirakan betapa besar dosa yang akan ditanggung si pembuat keputusan larangan yang melawan perintah al Qur’an itu? Umat Islam pada umumnya pun akan sedikit banyak juga harus menanggung adanya dosa tersebut jika tidak mengingatkan keberadaan pelanggaran yang terjadi.

Dari analisis di atas kini terasa sekali pentingnya mencari jalan keluar terbaik untuk mengatasi tantangan serius ini, yakni bagaimana bisa menanggulangi ancaman wabah covid19 namun tetap bisa bersyiar Islam meramaikan mesjid, shalat berjamaah, jumatan, ngaji, doa, dan lain-lain aktifitas di mesjid. Berikut ini beberapa pandangan tentang langkah-langkah operasional mengatasi tantangan tersebut

1. Larangan mengadakan aktifitas bersama di mesjid harusnya bersifat selektif terkait nilai kegawatan yg terukur. Pada setiap satuan area (kota atau kabupaten) perlu dihitung dahulu berapa angka kesakitan covid19 (angka prevalensi) yang menggambarkan probabilitas resiko individu sehat tertular covid19. Jika angka prevalensi itu sudah tinggi, katakan sudah mencapai satu berbanding seribu penduduk maka mesjid barulah dianggap layak ditutup, atau masih bisa dibuka namun disertai sarat ada pengetesan calon jamaah yang mau masuk mesjid, misalnya dilakukan check suhu badannya. Mereka yang lolos tes tersebut masih bisa ikut shalat jamaah/jumatan/thawaf-sai (untuk mesjidil haram) di mesjid. Pantauan angka prevalensi kasus covid19 tentu perlu terus dilakukan sampai wabah dikatakan teratasi.

2. Mesjid seharusnya juga bisa difungsikan sebagai pusat layanan dukungan sosial mengatasi wabah covid19 yang melanda masyarakat. Untuk itu aktifitasnys perlu dikelompokkan dalam 2 aspek pelayanan, yakni:

A. Aspek pelayanan medis seperti mesjid sebagai tempat vaksinasi jika sudah ditemukan vaksinnya, lokasi screening melakukan pengetesan dengan rapid test tatkala diperlukan , pembagian masker, vitamin dan lain-lain.

B. Aspek pelayanan non-medis seperti pengumpulan dana berupa zis maupun sumbangan bentuk lain untuk membantu menolong masyarakat plural yang lagi tertimpa dampak ekonomi dan lain-lain akibat efek samping program-program penanganan wabah. Koordinasi di dan oleh tim
Mesjid bisa dilakukan operasionalnya melalui internet maupun antaran dari rumah ke rumah penduduk.

Semoga bermanfaat.

Surabaya, 3 April 2020