Gagasan Sistem Ekonomi Islam Pendiri HTI Vs Bregman Universal Basic Income

Tulisan : Yudha Pedyanto

An-Nabhani merumuskan semua gagasannya dengan metodologi yang konsisten. Bangunan sistem ekonomi Islam yang digagasnya, semuanya digali dari dalil-dalil Al-Quran, As-Sunnah, serta ijmak Sahabat. Pesan dan semangat Syaikh Taqiyuddin dalam melakukan purifikasi Islam dalam segenap aspek kehidupan (tidak hanya ibadah tapi juga muamalah), sangat terasa.
Namun spirit purifikasi An-Nabhani ibarat pisau bermata dua. Satu sisi ia menunjukkan semangat pemurnian serta konsistensi di jalan Al-Quran dan As-Sunnah. Tapi di sisi lain seakan-akan ia jadi gagasan yang cenderung normatif dan kurang membumi. Sekalipun An-Nabhani telah menjelaskan ekonomi Islam pernah diterapkan sepanjang sejarah kekhilafahan islam. Saya ambil salah satu contoh kasus saja. Dalam Nizham Al-Iqtishad disebutkan negara wajib menjamin kebutuhan dasar (al-hajah al-asasiyah) setiap warga negaranya, baik muslim atau non muslim. Dan ini merupakan amanat Al-Quran dan As-Sunnah. Saat membaca kalimat itu, dalam benak saya; wow, mungkinkah? Apa mungkin negara mampu memenuhi kebutuhan dasar semua rakyatnya; sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan, semuanya secara penuh dan gratis? Kalau kita lihat fakta hari ini, jangankan memenuhi kebutuhan dasar dengan gratis, dengan harga murah saja negara nampaknya tidak mampu.
Nyaris seperti utopia. Mungkin saya akan terus berfikir seperti itu, sampai saya bertemu dengan sebuah buku yang berjudul: Utopia for Realists karangan Rutger Bregman. Dan mulai saat itulah saya berubah pikiran. Singkatnya, buku Bregman memberikan semua argumen aktual-saintifik yang dibutuhkan kitab Nizham Al-Iqtishad. Apakah itu berupa riset ilmiah, atau fakta politik-ekonomi terkini, baik yang dilakukan oleh para ilmuwan dari Harvard University, negara atau bahkan Google. Mungkin ada yang curiga Bregman berhaluan sosialisme atau komunisme.
Saya punya buku-buku Marx, Hegel serta tokoh-tokoh sosialisme lainnya, tapi buku Bregman sama sekali berbeda. Narasi yang dibangunnya murni faktual, ilmiah dan saintifik. Ketika saya membaca dan sampai di salah satu gagasan sentral Bregman: Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negaranya. Pikiran saya seperti disambar petir. Bukankah gagasan ini juga ditulis An-Nabhani 67 tahun lalu di kitabnya Nizham Al-Iqtishadi? Kalau An-Nabhani menyebutnya al-hajah al-asasiyah, Bregman menyebutnya universal basic income. Intinya sama; setiap warga negara berhak dipenuhi kebutuhan dasarnya oleh negara. Bedanya An-Nabhani merumuskan berdasarkan Quran dan Sunnah, Bregman merumuskan berdasarkan manfaat dan mudharat.
Ketika An-Nabhani menjelaskan hajah al-asasiyah harus diterapkan karena perintah Quran dan Hadits, Bregman menjelaskan universal basic income harus diterapkan karena sudah pernah diujicobakan, dan terbukti mampu menurunkan angka kemiskinan dan kriminalitas, serta meningkatkan kesehatan dan pendidikan, mulai dari Amerika sampai Afrika. Jadi gagasan ini sebenarnya sangat realistis dan tidak utopis. Bregman memberikan beberpa contoh penerapannya secara parsial di Inggris dan Canada. Bahkan Presiden Nixon hampir menjadikan gagasan ini sebagai kebijakan nasional AS pada tahun 1970-an, namun akhirnya kandas di Senat. Mungkin karena penerapannya bukan atas dasar iman sehingga tarik ulur kepentingannya sangat kuat.
Bertemunya pendekatan An-Nabhani yang normatif-religius dan Bregman yang faktual-saintifik, membuat saya semakin yakin, jika semua syariah Islam diterapkan, baik di level individu dan negara, pasti akan mendatangkan manfaat serta mencegah mafsadat. Pelajaran lain yang bisa diambil adalah; seorang muslim wajib melaksanakan semua syariat Islam, sekalipun manfaatnya belum terbayang sama sekali. Karena seorang muslim melaksanakannya atas dasar ridha dan pahala, bukan karena manfaat dan mudharat. Pelajaran terakhir, diskursus An-Nabhani dan Bregman ini seharusnya membuat kita lebih dewasa dan matang dalam berpolitik.
Harapannya kita tidak mudah terperdaya dengan strategi marketing politik yang doyan memanfaatkan sentimen dan simbol-simbol Islam. Kita tidak lagi mudah terkesima, misalnya dengan kesepuhan dan keulamaan seorang pemimpin. Atau kita juga tidak mudah gumunan, katakanlah dengan pemimpin yang muda, kaya, rajin sholat dhuha dan puasa. Selama pemimpin tersebut tidak berani mengusung gagasan yang konseptual, radikal dan out of the box, seperti gagasan ekonomi An-Nabhani dan Bregman